Popularitas


Beberapa majalah, dan koran ditumpuk di ruang tamu yang terbuka. Agar, si Ridwan, dan Zul bisa membaca sekaligus dapat ilmu dari majalah atau koran tersebut.
      Tiba-tiba Ridwan dan Zul datang dengan membawa bola dan badannya penuh keringat karena habis dari lapangan yang terik serta panas. Tetapi, Ridwan menahan panasnya itu serta mengambil satu koran yang dianggapnya menarik.
      “Zul, ini koran tentang orang yang membikin negara kacau. Coba lihat, Pak Nazar sudah membuat ulah negara kita jadi kacau. Pak Nazar emang nyebelin. Gue nggak terima. Tega banget dia sama negara. Dasar ––––––“ kata Ridwan sambil mengekspresikan kemarahannya.
      “Wah, Pak Udin memang orangnya begitu. Elo nggak tahu ya? Makannya sering baca koran dong. Kayak gue gini.” Kata Zul membanggakan dirinya,
      “Eh tapi ngomong-ngomong, Pak Nazar lagi nggak waras nih. Buktinya dia mengganggu negara dan ia lari keluar negeri takut disini di cap koruptor. Padahal, disana ia di cap sebagai orang biasa atau turis,” Gumam Ridwan yang fokus pada pembicaraan,
      “Emang Pak Udin kayak gitu. Lagipula, partai udah mohon-mohon dan sujud sama pak Udin agar pulang kesini. Ehhh,....malah pergi dari tanah air,” Zul menambahi,
      “Eh, Ridwan, sama Zul. Lagi ngapain kalian? Ibu denger lagi ngomongin Pak Udin ya? Pak Udin itu orangnya baik kok, sering ngasih kita martabak sama telur ceplok. Ridwan dulu paling sering main kerumah Pak Udin. Dikasih makan, digendong, dimandikan, bahkan pernah nginep. Udah deh, Pak Udin sekarang baru di Bandung. Jangan ngomongin orang. Nggak baik.” Celoteh Ibu,
      “Bukan Pak Udin Ibu. Tapi Pak Nazar. Yang mempopulerkan korupsi ditanah air. Masa’ Ibu nggak tahu sih.” Celoteh Ridwan,
      “Pak Nazar? Udah deh Ridwan. Ngomongmu ngaco sepuluh bahasa. Pak Nazar baru aja pindah dari desa kita. Sekarang kan ia pindah ke Bogor karena ada tuntutan kerja jadi tukang jahit disana. Gimana sih.” Celoteh Ibu panjang lebar,
      “Pak Nazar, Pak Udin. Nggak ada yang benar. Yang benar adalah Pak Nazar bin Udin. Ibu sama Kak Ridwan ngaco mulu sih. Baca korannya dulu dong. Ibu, denger ya, Pak Nazar bin Udin itu orangnya baru di Singapura, dia kan kabur dari tanah air gara-gara ketenarannya sebagai koruptor menghampiri dirinya.” Tambah Zul,
      “Pak Nazar bin Udin. Oalah, yang kalian maksud itu bapakmu to. Bapak lagi kerja, malah ngomongin bapakmu sendiri. Nggak baik, bapak itu juga nggak pernah ke.....kemana tadi....ke Singapore pore pore itu. Aaaghh....pokoknya itu tadi deh, bapakmu kan juga bukan koruptor kayak di Nasaruden itu. Kalau Nasaruden itu emang orangnya dari dulu petakilan kayak wong edan. Ojo salah, Pak Nasaruden kui koncone ibu mbien sak deso karo Pak Nasaruden kuwi. Nek ibu dolanan engkleng yo Pak Nasaruden kuwi melu, soale mbien kuwi tonggo Ibu. Jan, kalian iki kepriye sih.” Celoteh Ibu seribu dialek,
      Zul dan Ridwan menganga seribu bahasa satu dialek. “Apaan maksudnya ibu? Gue ora ngerti lenguej Ibu kuwi opo.” Kata Zul tambah runyam,
      “Pak Nasaruden pancen wong edan. De’e saiki femes gara-gara menggelapkan dana negara. Yo derita elo Nas Nas, sukuri wae Nas nek kowe ki pancen uripe ra tentrem koyo aku. Kowe dadi mantan bendahara partai, tapi disorot media dadi wong terbawah neng Indonesia. Luweh apik aku, dadi IRT, lulusan sarjana Hukum tapi ra ketompo neng Mahkamah Agung, tapi ora kesorot media koyo kowe.” Kata Ibu seraya menunjuk-nunjuk foto Pak Nas di koran.
      “Zul, ternyata Pak Nazar emang nasibnya baru nggak baek ya. DL Pak, Pak, sukuri apa yang ada, hidup adalah anugrah pak, pak.” Ridwan menambahi,
      “Kak Ridwan, Pak Udin emang baru nggak baik nasibnya, tapi ia kreatif lho. Jangan salah.” Zul sedikit membela,
      “Orang koruptor kok kreatif. Emangnya dari Wonosobo kreatif.” Ridwan malah membantah,
      Dari pintu, Mbak Dewi datang membawa bungkusan yang entah apa isinya, “Ini Bu Rahmat, dari sukuran sunatan dek Yongki.” Kata Mbak Dewi,
      “Oya mbak Dewi. Maturnuwun ya.” Kata Ibu,
      “Ya. Assalamu’alaikum.” Mbak Dewi memberi salam, “Wa’alaikum salam.” Kata Ridwan, Zul, dan Ibu.
      “Itu, dek Yongki aja yang masih kelas satu SD aja udah berani sunat, kamu udah kelas enam SD sunatnya kelas lima.” Kata Ibu,
      “Lha Ibu punya uangnya untuk sunat saat aku kelas lima kok. Itu kan salahnya Ibu juga,” kata Ridwan,
      “Ya juga sih. Ibu saat kamu kelas satu SD belum punya uang untuk sunat. Maafin ibu ya,” kata Ibu,
      “Yang penting udah disunat kok Bu,” kata Zul mempersingkat.
      “Pak Udin kreatif ya. Ia punya teknik agar korupsinya terbuka secara umum. Ia sekarang lebih femes daripada penyanyi yang nyanyi perelaisd itu lho.” Kata Zul,   
      “Ho’o. Yang nyanyi paralyzed aja sibuk keluar negeri, eh Pak Udin juga keluar negeri. Sama-sama keluar negeri memboyong popularitas.”  Kata Ridwan. (Obrolan 2011)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Hadiah

Aku Tak Mau Lagi Jadi Layangmu

Baksos MP 2015