New York: Rindu Bertemu

     
       Dua tahun yang lalu, aku sudah mengunjungi tempat ini, dan sekarang aku juga datang untuk kedua kalinya di sini. Berdiri di depan gedung tinggi yang orang-orang sebut sebagai Times Square. Memang, ramai dan kurasa tempat ini tak pernah sepi dari incaran para turis-turis, pun seperti aku. 
       Aku melihat ada cafe yang menurutku unik di ujung, Kulihat di sana cukup ramai tapi tak seramai gerai-gerai kofisyop lainnya. Aku membenahi syalku dan memasang earphone ke telingaku lalu aku putar beberapa lagu country klasik semacam John Denver. Tiba di gerai Macquaire Cafe, aku masuk dan bunyi lonceng terdengar merdu saat aku membuka pintu, seorang pelayan menyapaku hangat sore itu sembari aku melepas earphoneku. 
       "Selamat sore, ada menu baru di hari ini, silahkan menikmatinya"
       "Iya, menu barunya apa ya? Mungkin, aku lebih memilih choco latte sebagai pengganti lelahku."
       "Kau tampaknya sedang lelah ya Nona? Apa, anda barusan sampai New York sore ini?"
       "Iya, aku dari Indonesia. Jauh di ujung Tenggara Asia. Kau tahu Indonesia?"
       "Indonesia? Mungkin aku pernah mendengarnya, Bali maksud kamu?"
       "No no no. Bali adalah pulau yang ada di Indonesia. Bali isn't country, oh baiklah sudah lupakan. Aku mau segelas choco latte dan sedikit croissant,"
       "Oh seperti itu, baiklah. Silahkan duduk nona,"

       Aku duduk diam di sebuah sudut tempat duduik dekat dengan kaca, di sana aku masih bisa dengan jelas melihat orang-orang berjalan kesana-kemari seolah mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Aku diam, mengingat-ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya, dan aku juga masih jelas dua tahun lalu. Masih segar dipikiranku dan rapi. Kamu, saat itu, menemaniku, dan kini dua tahun kemudian kamu tak bersamaku lagi. 
       Dua tahun lalu yang cukup menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan. Kita berfoto bersama, makan eskrim super lezat di Fifth Avenue, dan juga menyebrangi Brooklyn Bridge berdua sembari menikmati senja di tepi Sungai Hudson. Ah, dua tahun lalu, sangat-sangat menyenangkan. Aku kesini, setelahnya, bukan karena ingin membuka luka lama, pun aku tak berniat menghapus jejak, biarkan saja itu jadi masa lalu. Aku juga sudah tak mengharapkan kamu mengingatnya. Entah, yang kupikirkan saat ini adalah hari ini aku ada di kota yang sama tepat dua tahun yang lalu, dan aku mau berdamai dengan masa laluku.
       Aku tak habis pikir, saat dua tahun lalu tepat sebelum kita pulang balik menuju Jakarta, kau bilang padaku bahwa kita tak mungkin bersama kembali. Jelas, aku kaget bukan main, apa yang ada dipikiranku saat itu seakan-akan runyam dan kacau. Kau berkata seolah tak ada beban, dan ya, kamu bukan untuk ke Jakarta rupanya, kau membohongiku juga meninggalkanku, jelas itu adalah perbuatan yang tak masuk akal.
       "Nona, ini choco latte untukmu"
       Tunggu sebentar, aku sedikit kaget saat aku mendengar suaranya. Seperti... ya, seperti aku mengenali suara itu! Tak asing, dan familiar bagiku. Aku masih menatap jendela dan jelas ia belum melihat mukaku. Aku akan takut kalau ternyata, 
       "Gio?" Sembari aku membalikkan badan,
       Aku sangat kaget saat tepat di kedua mataku ada Gio. Jelas, ia adalah mantanku. Tak dapat kupungkiri lagi, jelas-jelas itu Gio. Air mataku menitik, sembari berkata lirih kemudian "Gio?"
       "Anne?"
     "Maaf, aku bukan bermaksud membuat harimu hancur kembali, aku juga tak berniat membuka luka lama, aku hanya..." imbuhnya dengan perlahan,
     "Sudahlah Gio. Aku juga tak berniat seperti itu, aku hanya ingin mencari hal-hal yang baru, namun malah bertemu hal-hal yang lama" suaraku semakin lirih
     "Maafkan aku Anne. Aku saat itu sedang kacau pikiran dan kamu pasti memahaminya, dan sekarang aku ingin berdamai dengan masa lalu kita"
     "Aku pun begitu. Aku ingin menghapus jejak tapi kurasa itu bukan hal yang tepat. Berusaha menghapus jejak justru kau akan selalu ingat dan ingat terus, pastikan saja kau berusaha mencari hal-hal yang baru, kelak kau akan lupa dengan sendiri," jawabku sembari menatap kaca 
       "Masihkah di hatimu ada dendam?"
       "Tak ada. Badai pun sudah reda sejak dulu, walau perlahan"
       "Jadi, bagaimana?"
     "Sudah cerah hari kita sekarang, dahulu hanya diselimuti mendung dan mendung saja. Jadi, terima kasih Gio. Kamu telah mengajarkanku bagaimana meredamnya, dan semua hal yang pernah kita lakukan bersama. Kamu memang pantas jika sekarang kamu bahagia"
        "Tidak Anne, bahagiaku belum lengkap"
     "Dan kamu lah bahagiaku sebenarnya setelah dua tahun yang lalu aku melarikan diri untuk memastikan bahwa kamu ternyata memang ditakdirkan menjadi milikku. Memang rindu baik untuk kita ya," tambahnya sembari menunduk sedikit,
       Mataku sangat berurai air mata, ia memandangiku, dan aku pun begitu. Kurasa aku memang rindu dengannya saja. Ah, aku telah membohongi diriku sendiri bahwa aku ingin mencari hal yang baru. 
       "Dan kau pun bahagiaku juga Gio"
     "Karena mungkin, seberapa lama kita, sejauh apa pun kita, rindu akan bertemu di waktu yang tepat, saat keduanya sudah siap" tambahku sekali lagi,
       "Maafkan aku Anne"
       "Maafkan aku Gio"
       Dan kami pun memeluk rindu kita yang sudah terpisah jauh jaraknya, tak hanya tempat, namun juga waktu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Hadiah

Aku Tak Mau Lagi Jadi Layangmu

Baksos MP 2015