Antara Pasar Senen dan Jatinegara


    
   
       Tahukah kamu? Bahwa aku membeli secarik tiket yang ku beli di sebuah loket. Sambil kuusap air mataku. Haru biru menggebu-gebu di udara Jakarta yang pekat, namun kelabu. Suasana semakin mendukung saat rinai hujan turun membasahi tanah ibukota. Aku memandangi langit, seakan-akan hanya langit yang paham dengan keadaan hatiku ini. Kau tahu betul, langit. Batinku sembari menghembuskan napas, begitu berat rasanya. Sangat berat.          

     


       Sudah berpuluh hari lamanya, kita ada di sini. Bersama-sama dalam menyesuaikan diri di hiruk pikuk metropolitan ini, bersama-sama menyusuri jalanan berdebu serta melihat pencakar langit dari dekat, bersama-sama terbakar oleh hembusan matahari yang begitu menyengat. Tapi, tak apalah, asal itu kulakukan bersamamu. Aku sudah menghabiskan waktu yang berkualitas di sini. Kini giliran aku kembali ke kotaku, Yogyakarta. Kota rindu, di mana aku dilahirkan di sana.
         Tiket itu masih kugenggam dengan erat. Masih tersisa beberapa menit lamanya aku menunggu kereta. Belum bersiap juga rupanya, namun tak apa. Aku masih ingin ada di sini, di antara sembilan juta lebih warga Jakarta berada. Kurindukan menyusuri untouchable place di kota ini, hanya kita yang tahu bukan? Ah, rasanya kala itu.
       Deru mesin dan suara lengkingan antara gesekan rel dan roda besi pun terdengar. Roda-rodanya mulai bergerak ke timur, pelan dan akan berhenti untuk menaiki penumpang, termasuk aku. Aku pun bergumam dalam hati, mimpikan aku lagi, di sebuah stasiun tua dengan gerbong pensiunnya. Aku masih ingat, kemarin-kemarin kita pergi ke sebuah stasiun hanya untuk melihat-lihat. Memang kedengarannya aneh, namun itu benar adanya. Sesederhana itu bukan?
       Aku baru tersadar dan terperanjat. Kereta yang akan kunaiki akan segera melaju bertolak menuju kota rindu. Siapa lagi kalau bukan Yogyakarta? Kota yang bagiku begitu penuh warna. Aku mengambil tasku dan segera check in. Segeralah aku mencari gerbong yang akan aku naiki. Deru airmataku tak terbendung lagi, sungguh tumpah bak keran yang dibuka dengan maksimal. Dada ini begitu sesak, sungguh menyesakkan hingga seperti tak ada ruang. Kuhela napasku dalam-dalam, dan kusebut namamu dalam diam. Aku mulai muram, hingga lupa bahwa aku akan menaiki kereta malam. Tepat aku berdiri di depan pintu gerbong dan aku mulai memasukinya. Suasananya begitu mendukung, dengan AC yang berhembus dingin.
       Detik menjadi menit, dan kini kereta api Senja Utama akan segera bertolak menuju Yogyakarta. Kereta ini melewati beberapa stasiun, antara Pasar Senen dan Jatinegara, aku terus menatap kaca jendela. Kacanya cukup buram, namun masih jelas adanya. Momen-momen kita di Jakarta, yang takkan pernah ku lupa, walau itu sedetik saja.
       Bayang-bayang kita di kota ini, akan selalu kuingat. Kurindukan udara metropolitan dengan angin yang hafal dengan medannya, di mana ia berhembus ke perumahan penduduk, ke gedung-gedung tinggi, ke Monas, ke pantai di utara, dan ke hingar bingarnya pasar Jakarta. Aku akan merindukan kota ini, bersamamu kita telusuri setapak kecil di kota yang dijuluki The Big Durian ini.
       Bayang-bayang itu masih segar adanya, aku terus menatap kaca jendela, dan di sana, kita bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Hadiah

Aku Tak Mau Lagi Jadi Layangmu

Baksos MP 2015