Nuansa Bening


      Aku memandangi sebuah menara yang tersohor di Paris. Terlihat megah dan sangat indah dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip di sampingnya. Malam itu, aku sendiri tanpa siapapun. Semua terlihat sendiri dan sibuk sendiri. Aku hanya berdiri di malam yang gelap dengan salju beku yang serasa menghujam tulangku seketika. Jaketku yang kubeli di Les Galleries Lafayette belum cukup untuk membuatku hangat dan merasa nyaman di tengah kedinginan yang menyatu padu. Hanya angan semata yang ku rangai dalam benakku. Suasana menjadi kaku dan beku setelah jam menunjukkan pukul delapan malam. Tapi, aku sedikit demi sedikit bergerak menjauhi menara tersohor itu. Aku pulang. Apartemenku sudah menungguku sejak tadi sore, tapi aku sekarang baru pulang tanpa serpihan kehangatan yang menjadi angan-anganku saat ini.
Di Champs Élysées aku berjalan dan mencari kepingan-kepingan kehangatan yang ada, mulai dari dekat lampu kota, dekat dengan toko penjual roti, tapi hampir semua ingin tutup dengan menunjukkan kata fermé.     
    
  Aku hanya berharap toko itu buka lagi dan aku masuk ke sana dan mencari kehangatan. Tapi nihil, hanya angan semata yang kurangkai dengan indah. Kuberjalan lagi dan menyusuri jalanan sempit yang jalanannya menggunakan block. Aku berjalan dan tak ada seorangpun di sana, kususuri terus jalanan itu, tapi hanya ada kedinginan yang menusuk dan menikamku dengan amat sangat, salju putih berceceran dan air-air semi-beku yang kulihat di atap-atap toko-toko atau rumah-apartemen yang mempunyai atap yang sangat miring. Sepertinya orang-orang sudah duduk dekat tungku api yang di sampingnya segelas coklat panas atau croissant yang fresh from the oven. Tapi, apartemenku belum dekat, masih beberapa ratus meter lagi yang cukup memakan waktu yang lama. Sepatuku yang berlabel dan branded ini juga tak bisa menahan dinginnya malam musim dingin yang parah ini. Aku tahu, aku tak bisa mengubah musim tapi setidaknya aku berharap aku menemukan pecahan-pecahan api yang di sudut jalan. Kuharap ada, tetapi aku masih belum menemukan di mana letak pecahan-pecahan api itu.
         Aku tiba di sebuah jembatan besi yang cukup terkenal di sini. Aku mencengkram pagar besi itu dengan kuat karena aku ingin melihat air yang tergenang di Sungai Seine. Pagar besi itu juga dingin, buku-buku jariku mengkerut dan memutih seolah saraf-saraf sudah tidak berfungsi lagi. Dan aku melihat air sungai itu hitam pekat. Aku juga merasakan karat-karat sakit hate oleh orang yang telah menyakiti hatiku. Suasana semakin dingin-haru-biru ketika aku ingat nama, kasih sayangnya, dan cintanya padaku, tapi itu dulu. Dulu.
Apartemenku masih di sana. Aku belum sampai tujuan. Jaketku basah dan rambutku kaku, jari-jemariku kaku beku biru, dan bibirku memutih seolah menggunakan lip gloss yang terang putih.
Aku tiba di sebuah café yang masih buka pada jam delapan lebih tiga puluh menit. Di café itu terlihat dua orang yang sedang bercakap-cakap dengan hangatnya seraya menyeruput coklat panas dan Sauvignon Blanc. Dua orang itu sepertinya aku kenal salah satu. Mereka terlihat sangat hangat dan akrab ditemani penghangat ruangan yang tak aku temui di jalanan yang juga lumayan sepi, hanya sekitar dua sampai tujuh mobil yang melintas dalam satu menitnya.
        Aku ingin memasuki café bernuansa Baroque itu dengan kondisi jaketku ini. Basah. Aku melangkahkan kakiku dengan perlahan dan mulai membuka pintu café yang terbuat dari kayu dan kaca. Aku mulai merasakan hangat sekarang, aku sudah menemukan bongkahan-bongkahan kehangatan yang tidak ada di jalanan ramai yang terkenal itu. Seorang wanita itu memandangiku dengan serius dan matanya tajam memandangiku, tapi aku tak peduli dengan wanita itu yang terus menatapku. Aku menuju kasir dan memesan sebuah minuman hangat untuk aku sendiri. Aku memesan dan mengeluarkan beberapa Euro untuk segelas coklat panas. Aku duduk di kursi pojok dekat perempatan jalanan tadi. Aku sedikit melihat cowok dan cewek yang terlihat asyik berbincang-bincang dengan bahasa yang aku pahami. Mereka menceritakan mau kemana liburan musim dingin ini, dan berencana ingin ke pulau tropis di khatulistiwa. Tapi aku berusaha tidak terlihat oleh kedua orang itu. Aku mulai menyeruput segelas coklat panas, rasanya begitu hangat dan cukup untuk aku bisa hangat, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku keluar dari café ini.
         Aku sudah menghabiskan satu gelas coklat panas ini, akhirnya aku bisa mengumpulkan energiku kembali dan mengumpulkan serpihan-serpihan kehangatan yang hilang ditelan kedinginan yang bukan main. Tapi, cowok dan cewek itu belum juga selesai perbincangannya dan masih asyik dengan dunia mereka. Biarlah, batinku. Aku beranjak dari kursiku dan segera bertolak ke apartemenku yang tinggal beberapa meter lagi. Tapi, aku tidak ingin enyah segera, karena cowok itu aku kenal, dan dia adalah cowok yang dulu aku kenal sekali, dialah Antoine.
         Saat aku membuka pintu, aku merasakan ada tangan yang berada di pundakku. Aku berhenti melangkahkan kakiku yang ingin menuruni tangga yang penuh dengan salju putih ini. Tapi, aku berbalik dan melihat sosok yang sangat aku cintai. Dialah Antoine, sampai sekarang aku masih ingat.
“Anne,” katanya dengan suara berat,
Aku hanya diam tanpa kata, diam tanpa bergerak, dan diam seribu bahasa. Mataku tertuju pada matanya yang indah dan berkilauan bak berlian di tengah kegelapan. Cewek yang bersamanya tadi kini hanya dongkol dan menggerutu dengan muka yang berapi-api.
“Antoine, kenapa kau?” tanyanya sembari melihatkan mukanya yang tengah berapi,
Tapi, Antoine terus tertuju padaku. Padaku yang sangat mencintainya hingga malam ini. Padahal, sudah beberapa bulan aku dan dia tidak bertemu dan tidak berkomunikasi satu sama lain, hal ini memicu aku merasakan remah-remah sakit hati yang dikumpulkan jadi satu.
“Antoine,” kataku dengan air mata yang mulai menitik satu demi satu,
Antoine tiba-tiba memelukku dan aku tidak tahu apa maksudnya, aku tidak ingin berlindung dalam kesedihan, aku tidak ingin terus sakit hati karena terus mengingatnya, dan momen ini menjadi satu titik dimana aku ingat kesanku dengannya saat di Cote d’Azur. Aku berusaha melepas pelukannya, dan aku lihat cewek itu mulai marah dan menamparku dengan kencang. Plakkk! Alhasil, sebuah tamparan mendarat di pipiku dan kini pipiku menjadi sakit.
    “Dasar cewek murahan!” umpatnya dengan Mata melotot,
    “Antoine, sekarang kita putus! Kita tidak ada apa-apa lagi. Cukup bagiku!” jawabnya sembari meraih tasnya dan pergi dari Café ini.
Aku sedikit senang, aku mulai tersenyum tersipu malu. Tapi, pipiku masih meradang dan panas. Aku tahu, aku salah, karena aku sengaja masuk di Café  ini.
    “Antoine, maafkan aku. Aku salah. Sebaiknya aku harus pergi. Terima kasih.” Kataku sembari membenahi syalku yang melorot dan aku segera enyah dari Café ini.
    “Tunggu!” katanya sembari memberhentikanku.
Aku tidak ingin Antoine membuatku sakit hati lagi. Aku sudah pernah merasakannya. Dentuman sakit hatiku mungkin bisa terdengar sampai New York yang sangat jauh. Pukulan demi pukulan aku rasakan selama beberapa bulan tanpanya.
Kuputuskan aku melihat wajahnya lagi. Aura cintanya terlihat kembali dan raut wajahnya sangat menawan. Aku suka. Ia mengajakku masuk ke Café lagi dan menikmati secangkir coklat panas dan croissant. Aku pun mengiyakannya dan mulai masuk lagi di Café yang kecil tapi hangat ini. Aku melihat banyak krat-krat wine yang tersusun rapi, dan botol-botol yang disusun secara urut tahun pembuatannya. Terlihat gelas-gelas cantik terbalik di tempatnya dan berdenting ketika ada goyangan sedikit. Nuansa ini aku suka, apalagi bersama orang yang aku cintai. Antoine.
Ia menawariku beberapa menu di list. Aku hanya memilih secangkir coklat panas, donat dan croissant. Hanya itu. Perasaanku tak bisa kuungkapkan dengan bahasa, karena hari ini begitu sangat indah. Aroma coklat dan mentega menyeruak di seluruh ruangan ini.
“Aku mencintaimu Anne. Ternyata tidak ada orang lain yang spesial selain kamu.” Katanya,
Aku hanya tersenyum simpul dengan pipi memerah. Sembari aku menjawab, “Kau tahu Ant, banyak orang mendapatkan keinginannya, bukan kebutuhannya. Tapi, kamu adalah orang yang aku butuhkan dan aku menginginkanmu juga.” Kataku sembari memotong donat dan menaburinya dengan gula halus.
Kami pun bercakap-cakap dan kembali mengumpulkan cinta yang telah lama hilang disapu oleh angin dan waktu. Ternyata dia benar-benar mencintaiku, dan malam itu, ia memberikan sebuah cincin emas. Aku pun terkejut dan menutup mulutku. Aku tidak percaya ini akin terjadi. Ini hanya seperti mimpi di negeri dongeng. Aku serasa di dimensi yang berbeda dengan waktu yang diputar secara acak. Apakah aku berada di galaksi roda biru? Tanyaku sendiri.
Aku sekarang sadar. Aku bukan di dimensi yang beda. Aku di dunia nyata dan Antoine tepat di seberangku. Tepat! Aku pun menerimanya dan kami berencana menikah bulan depan.
                                                                      -=oOo=-
Kami pun akhirnya menikah di Carcassone. Suatu tempat yang sangat indah di Perancis. Kami merayakannya dengan suka cita. Tanpa orang yang membenci kita. Dan aku sadar, cinta harus butuh kepercayaan dan keyakinan yang kuat. Tanpa itu, nihil.
Aku pun bahagia dan sekarang tinggal di sebuah apartemen di Paris. Aku sangat bahagia sekali. Remah-remah cinta menjadi satu, pecahan-pecahan sakit hate sudah terhempas jauh, gumpalan-gumpalan kekecewaan sudah terhembus oleh waktu.
Virgiawan Listyanto XE



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Hadiah

Aku Tak Mau Lagi Jadi Layangmu

Baksos MP 2015